Sabtu Pekan Biasa XXIV 17 September 2016

Sabtu Pekan Biasa XXIV
17 September 2016

PF S. Robertus Bellarmino, Uskup dan Pujangga Gereja



Bacaan Pertama
1Kor 15:35-37.42-49

“Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidak-binasaan.”

Pembacaan dari Surat Pertama Rasul Paulus
kepada Jemaat di Korintus:

Saudara-saudara, mungkin ada orang bertanya,
“Bagaimanakah orang mati dibangkitkan?
Dan dengan tubuh apa mereka akan datang kembali?”
Hai orang bodoh!
Benih yang kautaburkan, tidak akan tumbuh dan hidup,
jika tidak mati dahulu.
Dan yang kautaburkan itu
bukanlah rupa tanaman yang akan tumbuh,
melainkan biji yang tidak berkulit,
umpamanya biji gandum atau biji lain.

Demikian pulalah halnya dengan kebangkitan orang mati:
Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan;
ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan;
ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan.
Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah,
yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah.
Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah.
Seperti ada tertulis,
‘Manusia pertama, Adam, menjadi makhluk yang hidup.’
tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan.

Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah,
tetapi yang alamiah;
barulah kemudian yang rohaniah.
Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani;
manusia kedua berasal dari surga.
Makhluk-makhluk alamiah
sama dengan yang berasal dari debu tanah,
dan makhluk-makhluk surgawi
sama dengan Dia yang berasal dari surga.

Jadi seperti kini kita mengenakan rupa dari manusia duniawi,
demikian pula kita akan mengenakan rupa dari yang surgawi.

Demikianlah sabda Tuhan.


Mazmur Tanggapan
Mzm 56:10-14,R:14b

Refren: Aku berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan.

*Musuhku akan mundur pada waktu aku berseru;
aku yakin bahwa Allah berpihak kepadaku.

*Kepada Allah, yang firman-Nya kupuji,
kepada Tuhan, yang sabda-Nya kujunjung tinggi,
kepada-Nya aku percaya, aku tidak takut.
Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadapku?

*Nazarku kepada-Mu, ya Allah, akan kupenuhi,
dan kurban syukur akan kupersembahkan kepada-Mu.
Sebab Engkau telah meluputkan daku dari maut,
dan menjaga kakiku, sehingga tidak tersandung;
sehingga aku boleh berjalan di hadapan Allah
dalam cahaya kehidupan.


Bait Pengantar Injil
Luk 8:15

Berbahagialah orang yang menyimpan sabda Allah
dalam hati yang baik dan tulus ikhlas
dan menghasilkan buah dalam ketekunan.


Bacaan Injil
Luk 8:4-15

“Yang jatuh di tanah yang baik ialah orang yang mendengarkan sabda itu
dan menyimpannya dalam hati, dan menghasilkan buah dalam ketekunan.”

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas:

Banyak orang datang berbondong-bondong dari kota-kota sekitar kepada Yesus.
Maka kata Yesus dalam suatu perumpamaan,
“Adalah seorang penabur keluar menaburkan benih.
Waktu ia menabur sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan,
lalu diinjak-injak orang
dan dimakan burung-burung di udara sampai habis.
Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu,
dan tumbuh sebentar, lalu layu karena tidak mendapat air.
Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri,
sehingga terhimpit sampai mati
oleh semak-semak yang tumbuh bersama-sama.
Dan sebagian jatuh di tanah yang baik,
lalu tumbuh dan berbuah seratus kali lipat.”

Setelah itu Yesus berseru,
“Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar,
hendaklah mendengar.”

Para murid menanyakan kepada Yesus maksud perumpamaan itu.
Yesus menjawab,
“Kalian diberi karunia mengetahui rahasia Kerajaan Allah,
tetapi hal itu diwartakan kepada orang lain dalam perumpamaan,
supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat,
dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti.

Inilah arti perumpamaan itu: Benih itu ialah sabda Allah.
Yang jatuh di pinggir jalan
ialah orang yang telah mendengarnya,
kemudian datanglah Iblis,
lalu mengambil sabda itu dari dalam hati mereka,
supaya mereka jangan percaya dan diselamatkan.
Yang jatuh di tanah yang berbatu-batu,
ialah orang yang setelah mendengar sabda itu,
menerimanya dengan gembira,
tetapi mereka tidak berakar.
Mereka hanya percaya sebentar saja
dan dalam masa pencobaan mereka murtad.
Yang jatuh dalam semak duri,
ialah orang yang mendengar sabda itu,
dan dalam pertumbuhan selanjutnya mereka terhimpit
oleh kekuatiran, kekayaan dan kenikmatan hidup,
sehingga tidak menghasilkan buah yang matang.

Yang jatuh di tanah yang baik
ialah orang yang mendengar sabda itu
dan menyimpannya dalam hati yang baik,
dan mengeluarkan buah dalam ketekunan.”

Demikianlah sabda Tuhan.


Renungan Injil
Cukup sering pertanyaan perihal kebangkitan badan diajukan, apakah yang dibangkitkan itu badan jasmani kita?
Bukankah badan jasmani kita akan kembali menjadi debu/tanah?
Rasul Paulus menulis dengan baik pada Bacaan Pertama hari ini, kita dilahirkan, dibesarkan dan meninggal dunia dengan tubuh jasmani atau tubuh alamiah kita, tetapi akan dibangkitkan dengan tubuh rohaniah.
Tubuh rohaniah yang berbeda dengan tubuh jasmaniah yang berasal dari debu tanah.
Tubuh rohaniah tak dapat mati lagi.
Setiap orang akan meninggalkan tubuh jasmaniahnya, akan meninggal dunia, untuk selanjutnya akan dibangkitkan tubuh rohaniah yang serupa dengan mahluk-mahluk surgawi.

Kita telah diajarkan dan mengetahui kemana tujuan selanjutnya dari tubuh rohani itu, yakni ke tujuan yang ditentukan dari apa yang telah kita perbuat selama hidup di dunia ini, ditentukan dari bagaimana kita menjalani hidup di dunia ini.
Kita bisa menuju ke tempat di mana Bapa kita berada, dan kita bisa merencanakannya mulai sekarang, yaitu dengan memperhatikan dan mematuhi “rambu-rambu” yang telah ditetapkan, agar tidak tersesat ke tempat yang lain.

Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius dari kita, yakni tidak ada jalan kembali dari tubuh rohani menjadi tubuh jasmani.
Artinya, perjalanan hidup di dunia ini tak dapat diulangi.
Tak ada seorang pun dapat mengulangi apa yang telah terjadi di hari kemarin atau pun di hari-hari yang telah lalu, tetapi semua orang diberi kesempatan untuk menentukan bagaimana hari-hari ke depan akan dilaluinya.
Nah, terserah kita, maunya seperti apa.
Apakah kita akan berusaha semampu kita untuk memperhatikan dan mematuhi rambu-rambu Tuhan itu atau tidak.


Peringatan Orang Kudus
Santo Robertus Bellarminus, Uskup dan Pujangga Gereja
Robertus Bellarminus lahir di Montepulciano, dekat Siena, Italia pada tanggal 4 Oktober 1542. Oleh ibunya, adik Sri Paus Marsellus II, Robertus memperoleh pendidikan dasar yang sangat baik. Di kolese Yesuit setempat, Robertus terkenal cerdas dan ramah. Semua guru dan kawannya senang padanya. Ia senang berorganisasi dan menghimpun kawan-kawannya untuk mendiskusikan berbagai persoalan penting. Sastera Latin sangat digemarinya sehingga kadang-kadang ia semalaman sibuk mengarang dan membaca.
Ayahnya menginginkan dia menjadi dokter agar kelak dapat merawat para raja dan pangeran. Semua angan-angan ayahnya seolah sirna seketika pada waktu dia menyatakan keinginannya untuk menjalani hidup membiara dalam Serikat Yesus. Dengan tegas ayahnya menolak cita-citanya itu. Sebaliknya ibunya sangat mendukung bahkan menghendaki agar kelima anaknya menjadi imam dalam Serikat Yesus. Dengan berbagai cara ayahnya menghalangi dia.
Robertus tetap tenang menghadapi ayahnya. “Aku rasa, tugas seorang imam pun tidak jauh berbeda dengan tugas seorang dokter. Bukankah banyak orang membutuhkan pertolongan seorang imam? Lihat! Betapa banyak orang yang terlantar jiwanya karena kekurangan imam,” demikian kata-kata Robert kepada ayahnya. “Baiklah Robert, kalau itulah yang kaukehendaki. Ayah tidak bisa menghalang-halangi kehendak Tuhan atas dirimu,” jawab ayahnya.
Pada tanggal 19 September 1560, Robertus meninggalkan Montepulciano menuju Roma. Ketika itu ia berumur 18 tahun. Setibanya di Roma, ia menghadapi Pater Laynez, Jenderal Serikat Yesus masa itu. Pater Laynez menerima dia dengan senang hati dalam pangkuan Serikat Yesus. Ia diizinkan menjalani masa novisiat bersama rekan-rekannya yang lain. Masa novisiat ini dipersingkat karena kepintaran dan kepribadiannya yang mengesankan. Ia lalu disuruh belajar Filsafat di Collegium Romanum di Roma selama tiga tahun, dan belajar Teologi di Universitas Padua selama dua tahun.
Karya imamatnya dimulai dengan mengajar Teologi di Universitas Louvain, Belgia. Di sini ia meningkatkan pengajaran bahasa Hibrani dan mempersiapkan perbaikan terjemahan Alkitab Vulgata. Dari Universitas ini pula, ia melancarkan perlawanan gencar terhadap ajaran Protestan dengan menerbitkan bukunya berjudul “Disputationes.” Dari Louvain, Pater Robertus dipindahkan ke Collegium Romanum, alma maternya dahulu. Di sana ia diangkat menjadi pembimbing rohani, rektor sekaligus Provinsial Yesuit. Di kalangan istana kepausan, Robertus dikenal sebagai penolong dalam memecahkan berbagai persoalan iman dan soal-soal lain yang menyangkut keselamatan umum. Ia juga biasa dimintai nasehatnya oleh Sri Paus dan dipercayakan menangani perkara-perkara Gereja yang penting.
Menyaksikan semua prestasinya, Sri Paus Klemens VIII (1592-1605) mengangkatnya menjadi Kardinal pada tahun 1599 dan tak lama kemudian ia ditahbiskan menjadi Uskup Capua. Tugas baru ini dilaksanakannya dengan mengadakan kunjungan ke semua paroki yang ada di dalam keuskupannya. Tugas sebagai mahaguru ditinggalkannya. Masa kerja di Capua tidak terlalu lama, karena dipanggil oleh Paus Paulus V (1605-1621) ke Roma untuk menangani beberapa tugas yang penting bagi Gereja. Di sana ia mulai kembali menekuni kegemarannya menulis buku-buku rohani. Tahun-tahun terakhir hidupnya diisinya dengan menulis tafsiran Kitab Mazmur dan ‘Ketujuh Sabda Terakhir Yesus’ sebelum wafat di kayu salib. Dua buku katekismus yang dikarangnya sangat laris dan beredar luas di kalangan umat sebagai bahan pengajaran bagi para katekumen. Buku terakhir yang ditulisnya ialah ‘Ars Moriendi’ yang melukiskan persiapannya menghadapi kematiannya yang sudah dekat. Buku ini ditulis pada saat-saat terakhir hidupnya di novisiat St. Andreas di Roma.
Setelah membaktikan seluruh dirinya demi kepentingan Gereja, Robertus Bellarminus menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 17 September 1621 di novisiat St. Andreas, Roma. Beliau dikenal luas sebagai seorang ahli teologi yang sangat gigih membela Gereja dan jabatan kepausan dalam kemelut zaman Reformasi Protestan. Ia hidup sederhana dan suci serta mempunyai pengaruh yang sangat besar. Ia dinyatakan sebagai ‘Beato’ oleh Paus Pius XI (1922-1939) pada tanggal 13 Mei 1923, dan sebagai ‘Santo’ pada tanggal 29 Juni 1930, lalu sebagai ‘Pujangga Gereja’ pada tanggal 17 September 1931.


Santa Hildegardis, Martir
Hildegardis lahir di Bockelheim, Jerman pada tahun 1098. Ia seorang biarawati Ordo Benediktin yang saleh, di bawah bimbingan Santa Yutta. Santa Yutta sendiri dikenal sebagai seorang rubiah dan penghimpun para wanita yang ingin bersemadi, hidup tenang dan banyak berdoa. Setelah Yutta meninggal dunia, Hildegradis menggantikannya sebagai pemimpin biara Benediktin di Diessenberg, dekat tempat kelahirannya. Pada tahun 1148 ia memindahkan biara itu ke Rupertsberg, dekat Bingen, Jerman. Sekalipun usianya mencapai 80 tahun, namun kesehatannya sangat rapuh: sering sakit dan sangat emosional.
Semenjak usia mudanya ia dianugerahi pengalaman rohani yang luar biasa: dapat meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, mengalami berbagai penglihatan, dan banyak membuat mujizat. Biarawati Benediktin ini senantiasa mengajak orang lain agar mau merubah cara hidupnya, menerima penderitaan dan bersemangat tobat. Banyak orang datang kepadanya untuk meminta bimbingan rohani padanya: para bangsawan, uskup-uskup, rahib-rahib dan suster-suster. Meskipun demikian banyak pula orang yang bersikap sinis padanya. Mereka ini menganggap Hildegardis sebagai wanita yang tidak waras. Memang, Hildegardis adalah biarawati yang sungguh luar biasa pada Abad Pertengahan. Buah penanya sangat banyak. Biasanya ia mendiktekan pikiran-pikirannya kepada seorang biarawati pembantunya, yang kemudian mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Latin. Salah satu bukunya ialah ‘Scivias’ (= Semoga Anda Tahu) yang berisi tentang berbagai pengalaman mistiknya. Buku yang lain berisi penjelasan tentang Injil, kehidupan rohani dan peraturan Santo Benediktus. Ia menulis juga mengenai ilmu pengetahuan alam, tentang tubuh manusia, penyakit serta obat-obatnya. Kisah Orang-orang Kudus tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia bukukan juga. Ia menggubah syair, berbagai hymne dan musik.
Hildegardis selalu sibuk. Namun ia masih juga menyempatkan diri melakukan perjalanan keliling Jerman untuk memperingatkan para bangsawan, imam dan uskup tentang cara hidup mereka yang tidak sesuai dengan ajaran iman Kristen dan semangat Injil. Keprihatinannya terhadap keadaan Gereja yang bobrok mendorong dia rajin berkotbah di alun-alun. Orang-orang yang mendengar kotbahnya terpukau, insyaf lalu bertobat. Ia tak jemu jemunya menyurati para pemimpin seperti paus, kaisar, raja dan tokoh-tokoh masyarakat yang besar pengaruhnya, seperti misalnya Santo Bernardus Clairvaux. Hildegardis akhirnya meninggal dunia di Rupertsberg, Jerman pada tanggal 17 September 1179.

 

Diambil dari:
Liturgia Verbi, www.live.sandykusuma.info

Leave a Reply

*

captcha *