Sabtu Pekan Biasa XXI 27 Agustus 2016

Sabtu Pekan Biasa XXI
27 Agustus 2016

PW S. Monika



Bacaan Pertama
1Kor 1:26-31

“Yang lemah dan tak berdaya dipilih Allah.”

Pembacaan dari Surat Pertama Rasul Paulus
kepada Jemaat di Korintus:

Saudara-saudara,
coba ingatlah bagaimana keadaanmu ketika dipanggil.
Menurut ukuran manusia tidak banyak di antara kalian yang bijak,
tidak banyak yang berpengaruh, tidak banyak yang terpandang.
Namun apa yang bodoh di mata dunia dipilih oleh Allah,
untuk memalukan orang-orang yang berhikmat,
dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah,
untuk memalukan yang kuat,
dan apa yang tidak terpandang dan hina bagi dunia,
bahkan apa yang tidak berarti,
dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti,
supaya jangan ada seorang manusia pun
yang memegahkan diri di hadapan Allah.

Tetapi Allah telah membuat kalian berada dalam Kristus Yesus,
dan oleh Dia Kristus telah menjadi hikmat bagi kita.
Dialah yang membenarkan, menguduskan dan menebus kita.
Maka, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci,
“Barangsiapa bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.”

Demikianlah sabda Tuhan.


Mazmur Tanggapan
Mzm 33:12-13.18-21,R:12

Refren: Berbahagialah bangsa
yang dipilih Tuhan menjadi milik-pusaka-Nya.

*Berbahagialah bangsa yang Allahnya Tuhan,
suku bangsa yang dipilih Allah menjadi milik-pusaka-Nya!
Tuhan memandang dari surga,
dan melihat semua anak manusia.

*Sungguh, mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takwa,
kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya;
Ia hendak melepaskan jiwa mereka dari maut
dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan.

*Jiwa kita menanti-nantikan Tuhan.
Dialah penolong dan perisai kita.
Ya, karena Dia hati kita bersukacita,
sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya.


Bait Pengantar Injil
Luk 7:16

Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,
dan Allah mengunjungi umat-Nya.


Bacaan Injil
Luk 7:11-17

“Hai Pemuda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!”

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas:

Sekali peristiwa
Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain.
Para murid serta banyak orang pergi bersama Dia.
Ketika Yesus mendekati pintu gerbang kota,
ada orang mati diusung ke luar,
yaitu anak laki-laki tunggal seorang ibu yang sudah janda,
dan banyak orang kota itu menyertai janda tersebut.

Melihat janda itu,
tergeraklah hati Tuhan oleh belas kasihan.
Lalu Tuhan berkata kepadanya, “Jangan menangis!”
Dihampiri-Nya usungan jenazah itu dan disentuh-Nya.
Maka para pengusung berhenti.
Tuhan berkata,
“Hai Pemuda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!”
Maka bangunlah pemuda itu, duduk dan mulai berbicara.
Lalu Yesus menyerahkannya kepada ibunya.

Semua orang itu ketakutan,
dan mereka memuliakan Allah sambil berkata,
“Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita,”
dan, “Allah telah mengunjungi umat-Nya.”
Maka tersiarlah kabar tentang Yesus di seluruh Yudea
dan di seluruh daerah sekitarnya.

Demikianlah sabda Tuhan.


Renungan Injil
Intisari dari surat Rasul Paulus pada bacaan hari ini ialah:
Tuhan tidak berkenan kalau orang memegahkan diri di hadapan Tuhan.
Tuhan malah memilih orang-orang yang menurut ukuran manusia adalah yang tidak bijak, tidak berpengaruh atau yang tidak terpandang, orang-orang yang lemah dan hina di dalam masyarakat dunia.
Ini benar, karena Yesus sendiri tidak “bermain” di kalangan istana kerajaan atau di kalangan para petinggi bangsa, melainkan “belusukan” dari desa ke desa, bergaul bersama orang-orang yang lemah, hina dan tak berdaya.
Malahan secara gamblang Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”  [Mrk 2:17b]
karena menurut Yesus, bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.

Yesus tidak membenarkan dosa yang diperbuat oleh manusia, melainkan menebus dosa-dosa manusia melalui sengsara-Nya di salib, untuk menyelamatkan.
Dengan kata lain, manusia dipandang tak mampu memerdekakan dirinya dari belenggu dosa, ibarat domba yang tersesat tak mampu menemukan sendiri jalan pulang, diperlukan pertolongan.
Penggembala dombalah yang datang dan menemukan domba yang tersesat itu.
Inilah yang ditulis oleh Paulus di dalam suratnya ini, bahwa Tuhan telah membuat kita berada dalam Yesus Kristus.
Bukan kita yang datang kepada Kristus dan membuat Kristus “terpaksa” menerima kita, melainkan Tuhan-lah yang memanggil kita untuk datang kepada hikmat Kristus.
Nah, kita patut bersyukur karena kita telah dipanggil-Nya.
Akankah kita menjawab panggilan-Nya itu?  Ataukah kita diam membisu dan membiarkan diri kita berkubang dalam dosa?


Peringatan Orang Kudus
Santa Monika, Janda
Monika, ibu Santo Agustinus dari Hippo, adalah seorang ibu teladan. Iman dan cara hidupnya yang terpuji patut dicontoh oleh ibu-ibu Kristen terutama mereka yang anaknya tersesat oleh berbagai ajaran dan bujukan dunia yang menyesatkan. Riwayat hidup Monika terpaut erat dengan hidup anaknya Santo Agustinus yang terkenal bandel sejak masa mudanya. Monika lahir di Tagaste, Afrika Utara dari sebuah keluarga Kristen yang saleh dan beribadat. Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang pemuda kafir yang cepat panas hatinya.
Dalam kehidupannya bersama Patrisius, Monika mengalami tekanan batin yang hebat karena ulah Patrisius dan anaknya Agustinus. Patrisius mencemoohkan dan menertawakan usaha keras isterinya mendidik Agustinus menjadi seorang pemuda yang luhur budinya.  Namun semuanya itu ditanggungnya dengan sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan. Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apa pun bahwa doanya dikabulkan Tuhan. Baru pada saat-saat terakhir hidupnya, Patrisius bertobat dan minta dipermandikan. Monika sungguh bahagia dan mengalami rahmat Tuhan pada saat-saat kritis hidup suaminya.
Ketika itu Agustinus berusia 18 tahun dan sedang menempuh pendidikannya di kota Kartago. Cara hidupnya semakin menggelisahkan hati ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak yang diberi nama Deodatus. Untuk menghindarkan diri dari keluhan ibunya, Agustinus pergi ke Italia. Namun ia sama sekali tidak luput dari doa dan air mata ibunya.
Monika berlari meminta bantuan kepada seorang uskup. Kepadanya uskup itu berkata: “Pergilah kepada Tuhan! Sebagaimana engkau hidup, demikian pula anakmu, yang baginya telah kau curahkan begitu banyak air mata dan doa permohonan, tidak akan binasa. Tuhan akan mengembalikannya kepadamu”. Nasehat pelipur lara itu tidak dapat menenteramkan batinnya. Ia tidak tega membiarkan anaknya lari menjauhi dia, sehingga kemudian ia menyusul anaknya ke Italia. Di sana ia menyertai anaknya di Roma maupun di Milano. Di Milano, Monika berkenalan dengan Uskup Santo Ambrosius. Akhirnya oleh teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus bertobat dan bertekad untuk hidup hanya bagi Allah dan sesamanya. Saat itu bagi Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya. Hal ini terlukis di dalam kesaksian Agustinus sendiri perihal perjalanan mereka pulang ke Afrika: “Kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik, sambil melupakan liku-liku masa lampau dan menyongsong hari depan. Kami bertanya-tanya, seperti apakah kehidupan para suci di surga. Dan akhirnya dunia dengan segala isinya ini tidak lagi menarik bagi kami. Ibu berkata: “Anakku, bagi ibu sudah tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang memikat hatiku. Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama. Sebab, segala harapan ibu di dunia ini sudah terkabul”. Dalam tulisan lain, Agustinus mengisahkan pembicaraan penuh kasih antara dia dan ibunya di Ostia: “Sambil duduk di dekat jendela dan memandang ke laut biru yang tenang, ibu berkata: “Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin hidup sedikit lebih lama lagi ialah aku mau melihat engkau menjadi seorang Kristen sebelum aku menghembuskan nafasku. Hal itu sekarang telah dikabulkan Allah, bahkan lebih dari itu, Allah telah menggerakkan engkau untuk mempersembahkan dirimu sama sekali kepadaNya dalam pengabdian yang tulus kepadaNya. Sekarang apa lagi yang aku harapkan?”
Beberapa hari kemudian, Monika jatuh sakit. Kepada Agustinus, ia berkata: “Anakku, satu-satunya yang kukehendaki ialah agar engkau mengenangkan daku di altar Tuhan”. Monika akhirnya meninggal di Ostia, Roma. Teladan hidup Santa Monika menyatakan kepada kita bahwa doa yang tak kunjung putus, tak dapat tiada akan didengarkan Tuhan.

 

Diambil dari:
Liturgia Verbi, www.live.sandykusuma.info

Leave a Reply

*

captcha *