Senin, Masa Adven IV 21 Desember 2015

Masa Adven IV

21 Desember 2015

PF S. Petrus Kanisius, Imam dan Pujangga gereja

__________________________________
Bacaan Pertama
Kid 2:8-14

“Lihatlah, kekasihku datang, melompat-lompat di perbukitan.”

Pembacaan dari Kidung Agung:

Dengarlah! Itulah kekasihku!
Lihatlah, ia datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di atas perbukitan.
Kekasihku laksana kijang atau anak rusa.
Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita,
sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap,
dan melihat dari kisi-kisi.

Kekasihku angkat bicara, katanya kepadaku,
“Bangunlah, Manisku! Jelitaku, marilah!
Lihatlah, musim dingin telah lewat,
hujan telah berhenti dan sudah berlalu.
Di ladang telah nampak bunga-bunga,
tibalah sudah musim memangkas;
bunyi tekukur terdengar di tanah kita.
Pohon ara mulai berbuah,
dan bunga pohon anggur semerbak baunya.
Bangunlah, Manisku! Jelitaku, marilah!
Merpatiku di celah-celah batu,
dalam persembunyian di lereng-lereng gunung,
perlihatkanlah wajahmu,
perdengarkanlah suaramu!
Sebab suaramu sungguh merdu,
dan jelita nian parasmu!”

Demikianlah sabda Tuhan.

__________________________________
Mazmur Tanggapan
Mzm 33:2-3.11-12.20-21,R:1a.3a

Refren: Bersorak-sorailah dalam Tuhan, hai orang-orang benar!
Nyanyikanlah bagi-Nya lagu yang baru!

*Bersyukurlah kepada Tuhan dengan kecapi,
bermazmurlah bagi-Nya dengan gambus sepuluh tali!
Nyanyikanlah bagi-Nya lagu yang baru;
petiklah kecapi baik-baik mengiringi sorak- dan sorai.

*Rencana Tuhan tetap selama-lamanya,
rancangan hati-Nya turun-temurun.
Berbahagialah bangsa yang Allahnya Tuhan,
suku bangsa yang dipilih Allah menjadi milik pusaka-Nya!

*Jiwa kita menanti-nantikan Tuhan.
Dialah penolong kita dan perisai kita.
Ya, karena Dia hati kita bersukacita,
sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya.

__________________________________
Bait Pengantar Injil
Oh Imanuel, Engkau raja dan pemberi hukum.
Datanglah dan selamatkanlah kami, ya Tuhan Allah kami.

__________________________________
Bacaan Injil
Luk 1:39-45

“Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?”

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas:

Beberapa waktu sesudah kedatangan Malaikat Gabriel,
bergegaslah Maria ke pegunungan
menuju sebuah kota di wilayah Yehuda.
Ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet.

Ketika Elisabet mendengar salam Maria,
melonjaklah anak yang di dalam rahimnya,
dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus,
lalu berseru dengan suara nyaring,
“Diberkatilah engkau di antara semua wanita,
dan diberkatilah buah rahimmu.
Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?
Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku,
anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya,
sebab firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana.”

Demikianlah sabda Tuhan.

__________________________________

Renungan Injil
Bacaan Pertama hari ini diambil dari Kidung Agung, yang diyakini ditulis oleh Raja Salomo di usia mudanya.
Menurut saya, keseluruhan isi kitab berbicara tentang cinta-kasih sepasang mempelai, yakni tentang romantisme pasangan suami-istri di masa mempelai mereka (pasangan yang akan atau baru menikah).
Tetapi ada juga yang mengartikan Kidung Agung sebagai relasi kasih antara Tuhan dan umat-Nya; Tuhan sebagai mempelai Laki-laki dan umat sebagai mempelai wanita.

Raja Salomo dikenal sebagai sosok yang mengagungkan kemesraan dan relasi cinta; konon sampai memiliki beratus-ratus isteri dan selir.
Saya tidak tahu apakah Salomo termasuk juga di dalam hal berikut ini atau tidak.
Banyak orang percaya, termasuk saya, bahwa perjalanan hidup berkeluarga atau perjalanan hidup pernikahan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1) Masa Roman; 2) Masa Konflik/Tegang; 3) Masa Bahagia/Rekonsiliasi.
Umumnya romantisme didapat saat pernikahan dimulai.
Kedua pasangan memiliki mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang menjadikan pernikahan itu laksana surga.
Bacaan Pertama hari ini menggambarkan tentang hal ini, tentang bagaimana mempelai wanita menyambut kedatangan mempelai pria, untuk bersama-sama menyambut datang musim semi dengan segala keindahannya.
Di masa roman ini, semua nampak baik, semua nampak indah, dan semua layak untuk dimaafkan, dimaklumi atau dimengerti.

Masa konflik atau masa tegang datang menyusul kemudian.
Waktu kedatangannya berbeda-beda, tetapi umumnya dimulai saat pasutri itu baru memiliki anak.
Hal-hal yang sama, yang dahulu nampak baik, sekarang tidak lagi baik.
Hal-hal yang tak berubah, nampak berubah, tak lagi indah.
Ketegangan meningkat dari hari ke hari, bagaikan orang yang sedang menabung, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Apalagi terhadap hal-hal yang memang berubah, tentu mudah menjadi pemicu konflik.
Para isteri yang dahulu langsing sekarang mulai tambur setelah melahirkan anak pertama.
Dahulu para isteri ini berdiri satu jam di depan cermin sebelum bertemu pasangannya, mendandani diri secantik mungkin, tapi setelah menikah cukup satu menit saja, “Sudah laku, tak dapat dijual lagi…”
Suaminya merasa telah kehilangan cinta dari isterinya, berbagi kasih dengan anak kandungnya sendiri, dan bahkan cemburu ketika isterinya lebih memperhatikan anaknya ketimbang suaminya.

Para suami juga mengalami yang sama; yang tak berubah serasa berubah, apalagi yang memang berubah.
Para isteri merasa suaminya telah berbagi kasih dengan dunia luarnya.
Para suami merasa mendapatkan relasi yang lebih baik di luar sana, lalu menjalin relasi intim dengan wanita lain yang bukan isterinya, atau setidaknya menjalin relasi intim dengan pekerjaannya.
Mencari nafkah seolah menjadi alasan kuat untuk mengabaikan isteri dan anak-anaknya.

Di masa yang kedua inilah peluang terjadinya perceraian.
Di masa inilah banyak pasutri yang “tinggal se rumah tetapi tidak hidup bersama”.
Di masa inilah sebagai dari anak-anak melihat perkawinan sebagai “momok” sumber persengketaan.
Sebagian lainnya melihat pertengkaran perkawinan sebagai suguhan sehari-hari, lalu nantinya mereka pun akan melakukan yang sama atau serupa.
Di masa inilah pasangan suami istri akan mencampakkan cinta mereka ke dalam tong sampah.

Jika pasutri berhasil melalui masa kedua yang kritis ini, mereka akan memasuki masa bahagia atau masa rekonsiliasi.
Mencintai yang tadinya seratus persen perasaan mulai bercampur akal sehat.
Banyak sekali yang berkata demikian, “Kalau saya tidak ingat anak-anak, pasti sudah kutinggalkan dia.”
Tidak sedikit yang berhasil memasuki apa yang disebut “unconditional love” atau cinta tanpa syarat, umumnya para wanita lebih mudah mencapai tingkatan cinta yang tinggi ini, “Biarlah suamiku tak lagi mencintaiku tetapi aku tetap mencintainya. Aku tak minta syarat macam-macam agar tetap mampu mencintai suamiku.”
Dan yang lebih mengesankan ketika seorang istri berkata, “Orang yang telah berlaku buruk terhadapku itu adalah ayah dari anak-anakku. Tak dapat kupungkiri.”

Tanda-tanda datangnya masa ketiga ini jelas kok, tapi hanya bagi mereka yang memang masih ingat akan sakramen pernikahan mereka, yang bisa jadi telah berlangsung belasan tahun yang lalu.
Cinta yang sejati akan tumbuh di hati masing-masing.
Kalau dahulu mereka bertanya, “Apa yang dapat diperbaiki dari pasanganku?” sekarang diganti menjadi “Apa yang perlu aku perbaiki dari diriku untuk kupersembahkan kepada pasanganku?”
Kalau dahulu bertanya, “Apakah ia masih mencintaiku” sekarang “Apakah aku masih mencintainya?”
Begitu seterusnya sehingga akhirnya mereka mampu melihat, sekali pun pasangannya bukan yang terbaik tetapi pasangannyalah yang terbaik baginya.
Jika pasutri telah mencapai masa ketiga ini, biasanya mereka tak lagi memikirkan untuk bercerai, malah lupa kalau ada opsi cerai…
Mereka inilah yang kemudian akan merayakan pesta perak perkawinan mereka, dan kalau berumur panjang mereka akan merayakan pesta emas perkawinan mereka.

__________________________________
Peringatan Orang Kudus
Santo Petrus Kanisius, Pengaku Iman dan Pujangga Gereja
Tidak banyak orang dianugerahi karisma yang begitu besar seperti Petrus Kanisius. Karismanya terletak pada pandangannya yang meluncur jauh ke depan, menguak dan menyingkapkan kebutuhan zaman dan Gereja sepanjang masa terutama di bidang pendidikan dan penerbitan. Ia lahir di Nijmegen, negeri Belanda pada tanggal 8 Mei 1521. Pada waktu itu Nijmegen merupakan bagian dari Keuskupan Agung Koln yang masih di bawah pengawasan Jerman. Petrus adalah putera sulung bapak Yakob Kanis, pengasuh putera-puteri bangsawan Lorranine dan walikota Nijmegen. Karena kecerdasan otaknya maka sudah sejak umur 15 tahun ia belajar di Universitas Koln. Pada umur 19 tahun, ia masuk Serikat Yesus. Semasa hidupnya ia menyaksikan pergolakan hebat di dalam Gereja, yaitu perpecahan di antara umat Kristen yang disebabkan Protestantisme.
Kesucian dan kariernya sangat kuat dipengaruhi oleh Petrus Faber dan Ignasius Loyola. Ia. bertemu dengan Petrus Faber dalam sebuah retret. Sedangkan pengaruh dari Ignasius Loyola didapatnya karena selama 6 bulan di Roma, dia tinggal bersama Ignasius. Ia ikut ambil bagian dalam mendirikan rumah biara Yesuit di Koln, tempat ia menjalani masa novisiatnya. Pada tahun 1546 ia ditahbiskan imam. Dalam waktu singkat ia segera terkenal sebagai seorang pengkotbah ulung. Pada waktu Konsili Trente, ia terpilih sebagai peserta dari kalangan ahli teologi. Pada tahun 1548 ia mengajar retorika di sebuah kolese Yesuit di Messina; dari Messina ia pindah ke Winna untuk tugas yang sama. Lewat kotbah dan pengajaran agamanya yang mengagumkan, ia menanamkan pengaruhnya yang sangat besar di semua kalangan, sehingga membuat iri pihak protestan. Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk menyebarkan iman ialah dengan doa dan kerja keras bukan dengan mencemoohi agama lain. Tiga kali ia ditawari jabatan uskup oleh raja tetapi ia menolaknya. Baru pada tahun 1557 ia ditunjuk oleh Ignasius menjadi administrator pada takhta keuskupan yang sedang kosong. Di masa itu ia banyak menulis buku-buku pelajaran agama (katekismus), mendirikan sekolah dasar, kolose dan seminari. Dengan tekun dan rajin ia mengajar, berkotbah dan menguatkan iman para rohaniwan yang mengalami krisis dalam menghayati panggilannya. Ia mempunyai keyakinan bahwa berkarya di tanah airnya sendiri tidak kalah dengan bertugas sebagai misionaris di tanah asing. Pandangannya jauh ke depan; maka di samping pendidikan, ia juga memelopori karya penerbitan buku-buku. Ia meninggal dunia pada tanggal 21 Desember 1597 dalam usia 78 tahun ketika sedang bertugas di Fribourg, Switzerland. Oleh Paus Pius XI (1922-1939), ia digelari ‘Santo’ dan ‘Pujangga Gereja’, dan dianggap sebagai Rasul Jerman Kedua.

 

Diambil dari:

Liturgia Verbi, www.live.sandykusuma.info

 

Leave a Reply

*

captcha *