Hari Biasa, Pekan Adven II Rabu, 13 Desember 2017
Liturgia Verbi (B-II)
Hari Biasa, Pekan Adven II
Rabu, 13 Desember 2017
PW S. Lusia, Perawan dan Martir
“Tuhan yang mahakuasa memberi kekuatan kepada yang lelah.”
Pembacaan dari Kitab Yesaya:
Yang Mahakudus berfirman,
“Dengan siapa kalian hendak menyamakan Daku?
Siapa yang setara dengan Daku?
Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah!
Siapa yang menciptakan semua bintang itu?
Siapa yang menyuruh mereka keluar seperti tentara,
sambil memanggil nama mereka masing-masing?
Tidak ada satu pun yang tak hadir,
sebab Dia itu mahakuasa dan mahakuat.
Hai Yakub, hai Israel, mengapa engkau berkata begini,
“Hidupku tersembunyi dari Tuhan,
dan hatiku tidak diperhatikan Allahku?”
Tidakkah engkau tahu, dan tidakkah engkau mendengar?
Tuhan itu Allah yang kekal, yang menciptakan alam semesta.
Tuhan tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu.
Pengertian-Nya tidak terduga.
Tuhan memberi kekuatan kepada yang lelah
dan menambah semangat kepada mereka yang tidak berdaya.
Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu
dan teruna-teruna jatuh tersandung.
Tetapi orang yang menanti-nantikan Tuhan
mendapat kekuatan baru.
Mereka seumpama rajawali
yang terbang tinggi dengan kekuatan sayapnya.
Mereka berlari dan tidak menjadi lesu.
Mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.
Demikianlah sabda Tuhan.
Mazmur Tanggapan
Mzm 103:1-4.8-10,R:1a
Refren: Pujilah Tuhan, hai jiwaku!
*Pujilah Tuhan, hai jiwaku!
Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!
Pujilah Tuhan, hai jiwaku,
janganlah lupakan akan segala kebaikan-Nya!
*Dialah yang mengampuni segala kesalahanmu,
yang menyembuhkan segala penyakitmu!
Dialah yang menebus hidupmu dari liang kubur,
dan memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat!
*Tuhan adalah pengasih dan penyayang,
panjang sabar dan berlimpah kasih setia.
Tidak pernah Ia memperlakukan kita setimpal dengan dosa kita,
atau membalas kita setimpal dengan kesalahan kita.
Bait Pengantar Injil
Tuhan akan datang menyelamatkan umat-Nya.
Berbahagialah orang yang menyongsong Dia.
Bacaan Injil
Mat 11:28-30
“Datanglah kepada-Ku, kalian yang letih lesu.”
Inilah Injil Yesus Kristus menurut Matius:
Sekali peristiwa bersabdalah Yesus,
“Datanglah kepada-Ku,
kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat.
Aku akan memberi kelegaan kepadamu.
Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku,
karena Aku lemah lembut dan rendah hati.
Maka hatimu akan mendapat ketenangan.
Sebab enaklah kuk yang Kupasang, dan ringanlah beban-Ku.”
Demikianlah sabda Tuhan.
Renungan Injil
Hari ini kita masih merenungkan Kitab Yesaya, yakni tentang kuasa Tuhan yang begitu besar sehingga tak ada yang dapat disamakan dengan-Nya.
Matahari, bulan, bintang dan semua benda-benda langit lainnya taat kepada-Nya serta melaksanakan apa yang menjadi kehendak-Nya.
Begitu pula semua benda yang ada di atas bumi, semuanya patuh kepada ketetapan-Nya.
Misalnya saja air, tak perduli dalam kondisi dan situasi apa pun, air selalu berusaha mengalir ke tempat yang lebih rendah, tidak pernah tidak.
Jika ada sesuatu yang menghalangi alirannya, ia akan dengan setia menunggu sampai kesempatan mengalir ke tempat yang lebih rendah terbuka baginya.
Tidak hanya itu, ia pun berusaha menghimpun tenaga dengan cara bersatu dalam kawanan yang lebih besar agar memiliki daya dorong yang lebih besar lagi.
Ketika panas menganiaya dirinya sehingga harus menjadi uap dan membumbung ke angkasa, ada waktunya kelak ia akan kembali ke bumi berupa hujan.
Begitu seterusnya.
Bagaimana dengan manusia?
Adakah ia memiliki kepatuhan seperti air dan benda-benda lainnya?
Adakah ia mampu menyamai kesetiaan matahari yang selalu terbit di pagi hari dan tak pernah terlambat untuk tenggelam di sore hari?
Adakah ia mampu seperti air yang sangat tolerans tetapi tetap setia seratus persen kepada pencipta-Nya?
Manusia menjadi tidak lagi setia justru di saat ia mengalami letih, lesu dan berbeban berat.
Ketika ia merasa tidak lagi dikasihi oleh Penciptanya, maka kesetiaannya pun goyah.
Lalu, kepada siapakah ia akan berpaling untuk memperoleh kekuatan untuk mengatasi kesusahannya kalau tidak kepada Tuhan?
Memang betul, pengertian-Nya seringkali tak terduga, tetapi janganlah menjadikan itu sebagai alasan untuk tidak setia kepada-Nya.
Tuhan itu mengasihi manusia lebih dari segala sesuatu yang ada di bumi ini.
Karena kasih-Nya itulah Tuhan tidak pernah menjadi lelah atau pun lesu dalam menolong setiap orang yang berseru-seru kepada-Nya.
Maka dari itu, janganlah sembunyikan hidup kita dari Tuhan, janganlah jauhkan relasi kita dari-Nya, hindari dosa yang menjadi penyebab merenggangnya relasi kita dengan-Nya.
Berbaliklah kepada-Nya.
Peringatan Orang Kudus
Santa Lusia, Perawan dan Martir
Kata cerita kuno: Lusia lahir di Sirakusa, di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Orangtuanya adalah bangsawan Italia yang beragama Kristen. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, sehingga perkembangan dirinya sebagian besar ada dalam tanggungjawab ibunya Eutychia. Semenjak usia remaja, Lusia sudah berikrar untuk hidup suci murni. Ia berjanji tidak menikah. Namun ketika sudah besar, ibunya mendesak dia agar mau menikah dengan seorang pemuda kafir. Hal ini ditolaknya dengan tegas. Pada suatu ketika ibunya jatuh sakit. Lusia mengusulkan agar ibunya berziarah ke makam Santa Agatha di Kathania untuk memohon kesembuhan. Usulannya ditanggapi baik oleh ibunya. Segera mereka ke Kathania. Apa yang dikatakan Lusia ternyata benar-benar dialami ibunya. Doa permohonan mereka dikabulkan: sang ibu sembuh. Bahkan Santa Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Sebagai tanda syukur, Lusia diizinkan ibunya tetap teguh dan setia pada kaul kemurnian hidup yang sudah diikrarkannya kepada Kristus.
Kekaisaran Romawi pada waktu itu diperintahi oleh Diokletianus, seorang kaisar kafir yang bengis. Ia menganggap diri keturunan dewa; oleh sebab itu seluruh rakyat harus menyembahnya atau menyembah patung dewa-dewa Romawi. Umat Kristen yang gigih membela dan mempertahankan imannya menjadi korban kebengisan Diokletianus. Mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Situasi ini menjadi kesempatan emas bagi pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak lamarannya: mereka benci dan bertekad membalas dendamnya dengan melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Kaisar termakan laporan ini sehingga Lusia pun ditangkap; mereka merayu dan membujuknya dengan berbagai cara agar bisa memperoleh kemurniannya. Tetapi Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Para musuhnya tidak mampu menggerakkan dia karena Tuhan memihaknya. Usahanya untuk membakar Lusia tampak tak bisa dilaksanakan. Akhirnya seorang algojo memenggal kepalanya sehingga Lusia tewas sebagai martir Kristus oleh pedang seorang algojo kafir.
Lusia dihormati di Roma, terutama di Sisilia sebagai perawan dan martir yang sangat terkenal sejak abad ke-6. Untuk menghormatinya, dibangunlah sebuah gereja di Roma. Namanya dimasukkan dalam Doa Syukur Agung Misa. Mungkin karena namanya berarti ‘cahaya’ maka pada Abad Pertengahan orang berdoa dengan perantaraannya memohon kesembuhan dari penyakit mata. Konon, pada waktu ia disiksa, mata Lusia dicungkil oleh algojo-algojo yang menderanya; ada pula cerita yang mengatakan bahwa Lusia sendirilah yang mencungkil matanya dan menunjukkan kepada pemuda-pemuda yang mengejarnya. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 13 Desember 304. Semoga kisah suci hidup Santa Lusia memberi peringatan kepada kita, lebih-lebih para putri kita yang manis-manis, supaya bertekun dalam doa dan mohon perlindungannya.
Santa Odilia atau Ottilia, Pengaku Iman
Konon, Odilia lahir di Obernheim, sebuah desa di pegunungan Vosge, Prancis pada tahun 660. Ayahnya, Adalric, seorang tuan tanah di daerah Alsace; ibunya bernama Bereswindis. Odilia lahir dalam keadaan buta sehingga menjadi bahan ejekan tetangga yang sangat memalukan keluarganya. Ayahnya sedih sekali menghadapi kenyataan pahit ini. Ia merasa bahwa kebutaan itu sangat merendahkan martabat keluarganya yang bangsawan itu. Sia-sia saja semua usaha istrinya untuk meyakinkan dia bahwa kebutaan itu mungkin merupakan suatu kehendak Tuhan yang mempunyai suatu maksud tersembunyi bagi kemuliaanNya. Siapa tahu anak ini di kemudian hari dapat menjadi berkat bagi orang lain. Adalric benar-benar bingung dan tidak sudi menerima kehadiran anak buta ini sebagai buah hatinya sendiri. Dia bahkan menghendaki agar bayinya itu dibunuh saja.
Tak ada jalan lain bagi ibu Bereswindis kecuali melarikan puterinya yang malang itu ke suatu tempat yang aman demi keselamatannya. Ia berprinsip: biarlah puterinya diserahkan kepada orang lain untuk dijadikan sebagai anak angkat. Orang lain itu ialah seorang ibu petani yang dahulu pernah menjadi pembantu di rumahnya. Ketika peristiwa pelarian ini diketahui banyak orang, ibu Bereswindis menyuruh ibu pengasuh itu melarikan bayinya ke Baume-les-Dames, dekat Besancon. Di sana ada sebuah biara suster. Untunglah bahwa suster-suster di biara itu rela menerima dan bersedia mengasuh Odilia. Sampai umur 12 tahun, anak itu belum juga dibaptis. Pada suatu hari Tuhan menggerakkan Santo Erhart, Uskup Regensburg, pergi ke biara Baume-les-Dames, tempat puteri malang itu berada. Di sana ia mempermandikan puteri buta itu dengan nama Odilia. Uskup Erhart pun menyentuh mata puteri buta itu, dan seketika itu juga matanya terbuka, dan ia dapat melihat. Mujizat ini segera diberitahukan kepada keluarga Odilia. Uskup Erhart pun memberitahukan kesembuhan mata Odilia di biara Suster-suster Baume-les-Dames kepada ayahnya. Tetapi sang ayah tetap menolak menerima dan mengakui Odilia sebagai anaknya. Hugh, kakak Odilia yang kagum akan mujizat penyembuhan adiknya berusaha mempertemukan Odilia dengan ayahnya di sebuah bukit, disaksikan oleh kerumunan rakyat. Melihat kenekatan Hugh, sang ayah menjadi berang, lalu memenggal kepala Hugh. Tetapi kemudian ia menyesali perbuatannya yang kejam itu dan dengan terharu menerima Odilia sebagai anaknya.
Odilia meneruskan karyanya di Obernheim bersama kawan-kawannya. Dia mengabdikan dirinya dalam karya-karya amal membantu orang-orang miskin dengan semangat pengabdian dan cinta kasih yang tinggi. Tak lama kemudian ayahnya bermaksud menikahkan dia dengan seorang pangeran. Hal ini ditolaknya dengan tegas dan Odilia kemudian melarikan diri ke tempat yang jauh dari ayahnya. Meskipun ia tetap dikejar-kejar dan dipaksa ayahnya, namun ia tetap pada pendiriannya. Akhirnya ayahnya mengalah dan membujuknya pulang dan berjanji mendirikan sebuah rumah yang bisa dijadikan sebagai biara di Hohenburg. Di situ ia menjadi kepala biara. Ia juga mendirikan biara lain di Niedermunster. Odilia wafat pada tanggal 13 Desember 720. Banyak mujizat terjadi di kuburnya.
Diambil dari:
http://liturgia-verbi.blogspot.co.id/
https://www.facebook.com/groups/liturgiaverbi