Umat Kristen di Aleppo
Aleppo menjadi sebuah rangkuman berbagai kengerian dan kekacauan mengenai krisis di Syria.
Aleppo merupakan kota kedua terbesar di Syria dengan luas 185,180 Kilometer persegi; mendapatkan julukan dalam Bahasa Arab Aleb al-Shahbah.
Pada masanya Kota ini terkenal dengan perdagangan dan pasar tradisional mereka (souk) terkenal sampai turis mancanegara. Namun saat ini tinggal kenangna dan puing-puing belaka.
Sejak tercetusnya “The Battle of Aleppo” pada Juli 2012, penduduk keseluruhan kota yang mencapai ± 2.5 juta jiwa, sekarang hanya tinggal ± 400.000 . dan Penduduk Aleppo yang beragama Katolik kebanyakan melarikan diri ke Turki, Libanon, Yordan, Eropa; hal yang sam terjadi di Damaskus dan beberapa kota pinggiran dari Syria.
Krisis kemanusiaan.
Seorang dokter beragama kristiani di Aleppo bernama Boulos berbicara”segalanya lumpuh, area kami bisa hidup hanya terkotakan sekian mil persegi,. Selama berbulan-bulan, setiap aku bangun hanya satu pikiranku.. bagaimana cara mendapatkan roti dan air. Sebagai penggambaran: dulu sebelum masa konflik sepotong roti berharga 2 Syrian Pounds, namun saat ini untuk sepotong roti aku harus membayar 50! bahkan aku pernah berjalan jauh membeli bensin di pasar gelap dengan menggunakan kantung plastik.”
Sistem kesehatan juga sangatlah memburuk. “kita harus beradaptasi” kata Boulos, ” Saya menghabiskan waktu selama lebih dari 12 jam non-stop di ruang operasi, tanpa bisa mensanitasi peralatan yang digunakan sebagaimana mestinya; tidak ada peralatan MRI, tidak ada obat-obatan. Dan hanya ada 2 rumah sakit umum untuk menangani ribuan orang yang cedera.”
Gereja dan para pemimpinya secara aktif ambil bagian dalam tanggung jawab dan urusan mendesak seperti ini.
Saling Bekerjasama
Di luar fakta bahwa salah satu permasalahan berdasarkan masalah agama dan keyakinan, penduduk Aleppo tetap saling mendukung antara satu dan yang lainnya.
Bahkan warga muslim akan hadir ke Gereja untuk turut menangis dan berbela sungkawa terhadap tewasnya tetangga mereka yang beragama kristiani.
Tidak seperti perkiraan banyak orang kerukuna beragama antara warga di sini masih terjaga dan relasi masih terjalin dengan baik.
Para Fransiskan berjuang keras untuk menolong warga Aleppo; membantu membayar sewa tempat, pangan , kebutuhan -kebutuhan mendesak, pendidikan anak, dan berusaha memberikan rasa “aman” di komunitas Aleppo.
Bantuan tidak tertutup hanya kepada warga Kristiani, Pater Elias berkata” Saya hanya akan meninggalkan Aleppo kalau warga muslim yang terakhir berhasil keluar dari sini. saya tidak berbicara tentang kelompok ekstimis yang merusak populasi, namun lebih kepada banyak warga muslim pria maupun wanita yang kita kenal sehari-hari, bekerja bersama, menangis bersama. Keberadaan mereka adalah sebuah berkat”, katanya” Pesan Kristus adalah untuk menerima sesamamu, kalau kita tidak bisa melakukannya dalam keseharian kita untuk apa kita menyebut diri kita Kristen?”
Ujian Keimanan.
Dr Boulos bercerita: “pada suatu hari, bomb barrel di jatuhkan di taman umum; 7 anak-anak menjadi korban, tubuh mereka penuh dengan pecahan metal. dan kami hanya berhasil menyelamatkan 2 dari mereka. Ketika saya membawa tubuh anak-anak yang sudah tidak bernyawa itu kepada orang tua mereka, saya menangis karena marah Kepada Tuhan.’ Engkau tidak ada, kalaupun Kau ada di sana, Kau yang maha kuasa dan maha tinggi, Kau bertanggung jawab untuk semua horror ini karena Kau tidak melakukan apapun!”,”Pada hari itu saya kehilangan iman saya”
Pater Elias pun seharusnya memiliki alasan untuk menangis kepada Tuhan, karena Gerjanya Katedral Maronite tempatnya sampai rusak berat , dan sebelumnya Gereja Yunani dan Katolik Armenia juga rusak. Bahkan Katedral “Forty Martyrs” yang ternama milik Orthodox Armenia hancur total. Namun para pemimpin Kristiani Aleppo menolak untuk jatuh kepada keputus asaan.
Disadur dari:
“Christians of Aleppo” – Emile Rey | The Holy Land Review