Refleksiku pendakian ke Gunung Sinai
Refleksiku pendakian ke Gunung Sinai
Yang membuatnya terkenal adalah sisi religiusitas gunung ini. Ribuan tahun lalu, saat bani Israel exodus dari Mesir menuju Kanaan, mereka singgah di gunung ini. Tepat di bawah kaki gunung mereka berkemah. Kemudian ke atas puncak gunung inilah Musa mendaki dan bertemu dengan Tuhan, yang kemudian turun membawa dua loh batu berisi 10 Hukum Allah yang terkenal itu.
Perjanjian Sinai bersifat Anugerah sekaligus Misioner. Anugerah karena Allah telah lebih dahulu menyatakan keselamatanNya kepada umatNya. Israel adalah milikNya. Misioner karena Israel dipanggil menjadi imam bagi bangsa – bangsa kafir, karna ini maka saya berniat untuk mendaki Gunung Sinai, untuk merasakan, mengalami sekian ribu tahun yang lalu Musa membawa Bani Israel dan membuat perjanjian di atas Gunung Sinai.
Tepat pukul 02.00 kami naik unta. Jalan berbatu – batu dan tebal, jurang, apalagi setelah siang hari panas menyengat, gunung batu, tak ada rerumputan, kalaupun ada hanya satu dua dapat di hitung dengan jari, rasanya tak ada kehidupan disana. Kami melampau bukit terjal dan tinggi, batu yang tajam sangat melelahkan ketika harus mendaki berjalan kaki. Bersama teman – teman yang lain kami saling membantu, memberi dorongan suport untuk sampai ke puncak Sinai. Ketika sampai di puncak, keletihan seakan – akan hilang lenyap, tinggal kekaguman akan kebesaran Allah……dan rasa syukur yang berlimpah kepada Allah. Ungkapan syukur dan kekaguman ada yang menyanyi, ada yang membisu, terperangah……berdoa….sampai datangnya matahari terbit menyinari batu – batuan dan indahnya seakan – akan adanya kombinasi refleksi dari tiap bebatuan besar terpancang kebesaran alam sebagai karya cipta ilahi.
Perjalanan mendaki Gunung Siani yang berat ini, secara rohani saya menangkap, saya di sadarkan lagi bahwa perjalanan hidupku harus beriman kepada setiap janji Tuhan. Hidupku harus kujalani dengan iman, percaya, bukan hanya dengan melihat. Kalau saya melihat banyak masalah, persoalan, dan banyak yang menakutkan, saya bisa mundur, dan mengeluh……mengeluh terus. Namun kalau saya berpegang pada janji Tuhan bahwa dia yang memanggil saya dalam panggilan hidupku ini Dia juga yang memberi jalan, memberi kekuatan, dengan demikian saya bisa menghadapi dengan langkah yang pasti melihat keajaiban Tuhan dalam hidup keseharian saya yang biasa – biasa dengan gembira. Saya dipilih, dipanggil untuk menjadi berkat bagi sesama. Pengalaman ini juga meyadarkan saya akan kemurahan Tuhan yang berlimpah kepada saya, semua di cukupi, membuat saya supaya tidak cepat mengeluh kalau ada hal – hal yang kurang, bersyukur atas tanah airku yang subur yang boleh saya katakan Tuhan begitu manja dengan bumi Indonesia ini bila di bandingkan dengan mereka yang tinggal di Gunung Sinai.
Refleksi seorang Suster Ursulin