Kemanapun Engkau Pergi Aku Kan Menyertaimu
“ KEMANAPUN ENGKAU PERGI AKU KAN MENYERTAIMU”
( Sebuah Refleksi )
Perjalanan pendakian ke Gunung Sinai bukan hanya merupakan sebuah refleksi perjalanan singkat selama mengadakan pendakian, tetapi merupakan refleksi pengalaman iman akan penyertaan Tuhan disepanjang perjalanan hidup yang telah kujalani.
Pada hari minggu, tanggal 24 Oktober 2010 dalam perjalanan pendakian ke Gunung Sinai bagiku merupakan sebuah pengalaman iman yang sangat kusyukuri dan takkan pernah kulupakan bagi hidupku sekaligus merupakan bekal yang sangat berharga untuk menyelesaikan peziarahan hidupku sekaligus merupakan bekal yang sangat berharga untuk menyelesaikan peziarahan hidupku. Setelah mempersiapkan berbagai perlengkapan, seperti perlengkapan naik unta, pakaian hangat untuk melawan udara puncak gunung yang sangat dingin, kesehatan yang baik, yang dilengkapi dan diteguhkan oleh niat yang besar dan iman kepada Tuhan bahwa Tuhan sendirilah yang akan menemani dan mengantarku sempai ke puncak Gunung Sinai, maka dengan hati yang siap kuawali perjalanan tersebut.
Pada tengah malam, pkul 12.00, mid night call berdering. Pukul 12.30 mulailah aku berjalan ke loby hotel tempat kami menginap untuk sedikit minum, dan pukul 13.00 rombongan naik ke bus menuju terminal unta yang terletak di dekat biara Santa Chatarina siap mengantarkan para peziarah menuju ke puncak Gunung Sinai. Kami semua berbaris untuk menunggu giliran naik unta. Hatiku dag… dig dug…karena memang merupakan pengalaman pertama bagiku untuk naik binatang, namun aku sadar bahwa Tuhan menyertaiku. Perjalanan naik unta akan di tempuh sekitar 2 jam, dengan medan yang sungguh tidak mudah, bukan hanya karena menanjak, tetapi juga berbatu – batu dan berkelok – kelok, masih di kelilingi oleh jurang yang dalam. Namun sepanjang perjalanan tersebut Tuhan mengirimkan bulan yang sungguh indah luar biasa yang menerangi sepanjang perjalanan kami. Namun sesekali bulan sempat terhalang oleh bukit. Itupun tidak menghambat perjalanan kami, karena Tuhan telah menyediakan penolong lain yaitu untayang memang sudah terlatih dan canggih luar biasa. Walau ia seekor binatang, namun memiliki tanggung jawab yang luar biasa, penuh kehati – hatian dan memiliki kepekaan luar biasa. Sebelum sampai tujuan si unta yang saya tumpangi dan beberapa unta lain berjalan beriringan sempat berhenti beberapa saat sambil sesekali berputar dan menoleh ke belakang. Saya sempat berpikir : “ Mengapa ya ?”. Ada sedikit kekhawatiran kalau – kalau si unta mogok. Ternyata tidak seperti yang saya pikirkan. Si unta melaksanakan tugasnya dengan sangat sempurna dan penuh tanggung jawab. Ketika tuannya berhenti, walaupun dari kejauhan, iapun berhenti, ia tahu apa yang dikehendaki tuannya, behitu tuannya mendekat, ia berjalan kembali. Dlam hal ini saya banyak belajar dari si unta tersebut. Saya diajak untuk menyadari kembali peran Tuhan yang senantiasa menyertai dan menuntun perjalanan hidupku. Ternyata unta tidak mogok tetapi aku diingatkan kembali seperti halnya dalam perjalanan hidup, akupun harus sesekali nerhenti sejenak guna mengadakan perjalanan hidup, akupun harus sesekali berhenti sejenak guna mengadakan refleksi, mengendapkan setiap rahmat dan anugrah Tuhan kepadaku, mensyukuri, serta menjadikannya sebagai persembahan kepada-Nya. Demikian juga halnya dalam perjalanan menuju Gunung Sinai ini, unta berhenti sejenak sekedar mengingatkanku agar merefleksikan, merenungkan, dan mengendapannya. Lalu untapun berjalan kembali. Sungguh luar biasa. Sungguh binatang yan sangat peka terhadap apa yang dikehendaki oleh tuanya. Lalu perjalanan dilanjutkan hingga sampai di tempat perhentian. Selain ada bulan, unta,dan pemandu unta masih ada pula sesama peziarah yang pasti sangat meneguhkan dan membuat hati damai melihat mereka didalam perjalanan ini.
Sambil menunggu rombongan kami transit di sebuah warung sekitar 30 menit. Pada kesempatan ini juga ada kesempatan bagi yang ingin buang air kecil. Untuk menuju ke tempat buang air kecil harus melewati serombongan unta, lalu menuju ke semak – semak tanpa penerangan, dan masuk ke sebuah bilik kecil yang gelap, tentu saja tanpa ada air, untuk sekedar buang air kecil. Disinipun daya diajak untuk merenung : segala sesuatu yang kita lakukan, jangan melihat dimana atau seperti apa tempatnya, tetapi lihatlah tujuanmu. Begitu juga disini, tujuanmu buang air kecil, jadi tak terlalu penting melihat dimana dan seperti apa tempatnya. Yang dilihat adalah buang air penting bagiku saat ini.
Sekitar pukul 15.45 mulai melanjutkan perjalanan pendakian 700 tangga. Sempat terpikir dalam diri saya : bagaimana mungkin saya dapat melewati tangga setinggi 700 dengan udara yang sedingin ini? Namun kembali saya berpikir : Bukankah Tuhan sendiri yang menemani dan mengantarkan aku dalam perjalanan ini. Maka dengan penuh semangat saya mulai berjalan didampingi oleh seorang penolong bernama Ibrahim. Sesekali saya sempat berhenti sejenak untuk mengambil nafas panjang. Setelah berjalan sekitar 600 tangga, akhirnya sampailah di sebuah perhentian yakni sebuah warung. Pada kesempatan perhentian ini sayapun kembali merenung, perjalanan yang telah kutempuh sampai kini, sudah cukup jauh, namun belum berakhir. Maka dengan penuh penyerahan kepada Yuhan mulaikah saya melanjutkan 100 tangga terakhir hingga mencapai 700 tangga. Dengan penuh kelegaan sampailah di puncak Gunung Sinai yang memang sangat tinggi dengan udara yang sangat dingin.
Sesampainya diatas puncak Gunug Siani tempat dimana Musa menerima Sepuluh Perintah Allah, kami berdoa dan bernyanyi. Selain doa pribadi, juga berdoa berssama sambil bergandengan tangan. Sunguh luar biasa !
Alkitab mengisahkan bahwa Gunung diselimuti api dan asap pada saat Musa mendaki ke atasnya untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, sementara bangsa Israel yag sedang menunggu di kemah sambil membuat sapi emas untuk dipuja. Betapa sedih hati Musa pada saat itu. Namun dalam situasi demikian Tuhan menampakankan diri-Nya.
Sungguh kamipun mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan di puncak Gunung Sinai tersebut. Samabil merenung, mensyukuri rahmat dan anugrah Tuhan yang telah kuterima, kami menunggu terbitnya matahari yang sungguh luar biasa indah. Samil memandang bukit – bukit serta jurang yang berbatu – batu saya sendiri menjadi heran, kok bisa sampai ke tempat ini. Kembali lagi dalam perenungan saya : “ Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya. “
Setelah matahari terbit, kami bersiap – siap untuk turun. Setelah berjalan menuruni 700 tangga, saya bermaksud untuk kembali naik unta. Terbayang di pikiran saya, perjalanan dengan unta saja memakan waktu 2 jam. Lalu bagaimana bila saya jalan kaki dalam keadaan sudah lelah ? Maka saya putuskan untuk naik unta. Setelah berjalan untuk beberapa saat, baru saya tahu bahwa kalau unta yang saya tumpangi adalah unta yang memiliki cacat kaki, sehingga jalannya “ dingklang “. Itulah sebabnya sangat tidak enak dan sangat tidak nyaman. Dengan demikian saya memutuskan untuk turun dari unta, dan berjalan kaki menuju ke tempat perhentian unta. Perjalanan turun dalam keadaan badan lelah merupakan tantangan tersendiri. Namun saya percaya, bahwa saya akan dapat menempuhnya, karena bukan karena kekuatan saya sendiri, tetapi karena Tuhan sendiri yang melengkapi apa yang kurang dalam diri saya. Bukankah demikian juga pengalaman perjalanan hidupku dimana lalu, dimana Tuhan senantiasa melengkapi apa yang kurang dalam diriku. Maka dengan penuh semangat, dan sesekali berhenti saya melanjutkan perjalanan saya sampai ke terminal unta. Setelah saya merenungkan kembali keadaan unta saya yang sakit tersebut, terpikirlah dalam diri saya : bahwa sebenarnya Christine bisa menempuh perjalanan ini tanpa unta. Demikian juga ini suatu pringatan Tuhan kepada saya kalau sebenarnya saya bisa melakukan lebih banyak lagi dari pada apa yang telah saya lakukan. Akhirnya sampailah kami kembali ke dekat terminak unta di dekat biara Santa Chatarina sekitar pukul 09.20.
Dari situ kami melanjutkan pejalanan menuju ke penginapan dengan menggunakan taxi. Dengan penuh rasa syukur karena perjalanan yang cukup menantang telah berhasil kulewati dengan selamat. Itu semua adalah berkat pendampingan Tuhan yang telah menuntun, mendamingi, meneguhkan, mendorong, menyemangati, menguatkan, dan mengantarkan sampai tuhuan dengan selamat, lewat siapapun dan apapun yang dikirmkan-Nya dalam perjalanan ini dari mulai persiapan sampai kembali. Terima kasih Tuhan. Kini semua pengalaman peziarah tersebut kuserahkan kepadaMu sebagai persembahan hidupku. Pakailah aku sesuai rencanaMu. Amin
Jakarta, 31 Oktober 2010
Sr. Christine Hardisubroto, OSU